"Sebuah Kisah yang bisa anda ambil pelajaran saudaraku"!!!!!
Perkawinan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami  istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri  berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya?  Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi  berisik.
Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi  ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan.  Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul,  sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan  bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk  hamil dan mempunyai anak.
Melihat hasil seperti itu, sang suami  mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya  dengan ucapan: Alhamdulillah.
Sang suami seorang diri memasuki  ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu  istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan  yang terpisah dari kaum laki-laki.
Sang suami berkata kepada  sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan  tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya  ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.
Kontan  saja sang dokter menolak dan terheran-heran. Akan tetapi sang suami  terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan  kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang  suami dan bukan ada pada sang istri.
Sang suami memanggil sang  istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan  dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka  sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan  kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara  istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.”
Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa  inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang  yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah Subhanahu wa ta’ala.
Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan  namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para  tetangga, kerabat dan sanak saudara.
Lima (5) tahun berlalu  dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai  akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang  istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama  Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta  cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:” betapa baik dan  shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama  Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan  memperoleh keturunan”. Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa  bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya  bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya,  sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.”
Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku,  ini cobaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, kita mesti bersabar, kita  mesti … mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya  malah berceramah di hadapannya.
Akhirnya sang istri berkata:  “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu  tahun, tidak lebih”. Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi  harapan besar, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memberi jalan keluar  yang terbaik bagi keduanya.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba  sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri  mengalami gagal ginjal. Mendengar keterangan tersebut, jatuh psikologis  sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya:  “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan  jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera  menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan  menimang bayi, saya kan … saya kan …”. Sang istri pun bad rest di rumah  sakit.
Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata:  “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau  baik-baik saja”. “Haah, pergi?”. Kata sang istri. “Ya, saya akan pergi  karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata  sang suami.
Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke  tempat pembaringan sang istri. Maka disepakatilah bahwa besok akan  dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.
Saat itu  sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya:  “Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan  diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.
Operasi berhasil  dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah  pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.
Ketahuilah  bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu  sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya,  tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter  yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.
Dan subhanallah …
Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan  anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para  tetangga.
Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami  telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan  telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Pulau  Jawa. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad  dengan riwayat Hafis, dari ‘Ashim.
Pada suatu hari, sang suami  ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas  meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Dan tanpa sengaja,  sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan  membacanya.
Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan  rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung.  Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia  berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya  dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.
Dan  setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani  menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan  menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.
About the Author
Posted by azhar lizaraju 
								 on 23.25. Filed under 
								 
update
.
								 You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
								 Feel free to leave a response
By azhar lizaraju 
			on 23.25. Filed under 
update
.
 Follow any responses to the RSS 2.0. Leave a response